Khilafiyah: Indahnya Perbedaan dalam Fikih

by -10218 Views
Foto ilustrasi: santri Amanatul Musthofa sedang belajar fiqih.
banner 468x60

Dalam diskusi keagamaan sehari-hari, terutama dalam masalah fikih, kita sering mendengar istilah “khilafiyah”. Atau kita berdebat, berbeda pendapat yang diyakini dalam masalah satu hukum, tanpa menyadari bahwa kita telah masuk dalam wilayah khilafiyah para ulama.

Memang, sebagian orang ada yang salah memahami istilah in, dengan pandangan dan penyikapan yang negatif, seolah khilafiyah menjadi biang kerok perpecahan. 

banner 336x280

Padahal, jika dipahami dengan benar, khilafiyah justru merupakan kekayaan intelektual warisan para ulama, dari awal Islam hingga saat ini, dan mungkin sampai hari kiamat, yang menunjukkan dinamika dan kelapangan ajaran Islam. 

Dalam artikel ringkas ini, kita  akan membahas khilafiyah secara lengkap, mulai dari definisi hingga hikmah di baliknya, dengan merujuk pada pendapat ulama yang kompeten.

Apa Arti Khilafiyah? 

Secara bahasa (etimologi), kata “khilafiyah” berasal dari akar kata bahasa Arab “khilaf” (خِلَاف) yang berarti pertentangan, perbedaan, atau perselisihan. Lawan katanya adalah “wafaq” (وفاق) yang berarti kesepakatan atau kesesuaian.

Secara istilah (terminologi), dalam disiplin ilmu fikih, khilafiyah didefinisikan sebagai perbedaan pendapat di kalangan ulama mujtahid dalam masalah-masalah ijtihadiyah (yang tidak ada dalil qath’i/pasti dari Al-Qur’an dan Sunnah) yang menghasilkan hukum furu’ (cabang) yang berbeda-beda, namun tetap dalam koridor metodologi ushul fikih yang valid.

Perlu ditekankan, khilafiyah bukanlah perbedaan antara yang benar dan salah, melainkan perbedaan antara yang benar (shawab) dengan yang lain juga benar. 

Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam kitabnya Al-Asybah wan Nazhair menyatakan, “Masalah ijtihadiyah tidak ada yang dianggap keliru secara mutlak. Seorang mujtahid yang ‘salah’ tetap mendapatkan satu pahala, dan yang ‘benar’ mendapatkan dua pahala.”

Keniscayaan Khilafiyah Sejak Zaman Nabi

Banyak yang mengira perbedaan pendapat (ikhtilaf) adalah produk generasi setelah Nabi. Faktanya, akarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW sendiri. Ini membuktikan bahwa khilafiyah adalah keniscayaan dalam memahami teks-teks agama yang multi-tafsir.

Beberapa contoh nyata di zaman Nabi:

  • Peristiwa Perang Bani Quraizhah: Nabi SAW bersabda kepada para sahabat, “Janganlah seorang pun melaksanakan shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.” Sebagian sahabat memahami teks ini secara harfiah (zhahir) dan mengakhirkan shalat Ashar hingga tiba di lokasi, meski telah lewat waktunya. Sebagian lain memahami maksud perintahnya adalah bersegera, sehingga mereka shalat Ashar di perjalanan pada waktunya. Nabi SAW membenarkan kedua kelompok ini dan tidak menyalahkan satu pun. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
  • Perbedaan Cara Shalat saat Khauf (Perang): Terdapat berbagai riwayat yang menggambarkan tata cara shalat khauf yang berbeda-beda, yang semuanya diajarkan langsung oleh Nabi SAW kepada para sahabat tergantung situasi.

Faktor keniscayaan ini berlanjut pasca wafatnya Nabi, karena:

  1. Keumuman Teks (العموم): Sebuah teks Al-Qur’an atau Hadis bisa dipahami secara umum atau dikhususkan.
  2. Kekhususan Teks (الخصوص): Ada teks yang sifatnya khusus dan perlu dilihat konteksnya.
  3. Perbedaan Pemahaman Bahasa Arab: Perbedaan dalam memahami makna hakiki, majazi, ‘am, khas, muthlaq, muqayyad, dll.
  4. Perbedaan Kualitas dan Kuantitas Hadis: Tidak semua sahabat meriwayatkan hadis yang sama. Seorang mujtahid mungkin hanya mengetahui hadis A, sementara yang lain mengetahui hadis B yang secara zhahir bertentangan, sehingga memerlukan metode jama’ (kompromi) atau tarjih (menguatkan salah satu).
  5. Perbedaan Kaidah Ushul Fikih: Seperti mana yang didahulukan antara hadis ahad dengan qiyas, atau antara istihsan dengan mashalih mursalah.

Siapa yang Layak Dipandang “Khilafiyah”? 

Ini adalah poin krusial. Tidak semua perbedaan pendapat bisa disebut “khilafiyah” yang diakui. Khilafiyah hanya terjadi di tingkat ulama mujtahid mutabbar (yang diakui kapabilitasnya), bukan antara ulama dengan orang awam.

Seorang mujtahid harus memenuhi syarat ketat, seperti:

  1. Menguasai Al-Qur’an beserta ilmu-ilmunya (asbabun nuzul, nasikh-mansukh, dll).
  2. Menguasai Hadis beserta ilmu musthalah hadis dan jarh-ta’dil.
  3. Menguasai bahasa Arab secara mendalam (nahwu, sharaf, balaghah, dll).
  4. Menguasai ilmu Ushul Fikih dan Qawa’id Fikih.
  5. Mengetahui titik-titik ijma’ (konsensus) agar tidak melanggarnya.
  6. Memiliki pemahaman yang mendalam tentang maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat).

Oleh karena itu, perbedaan pendapat antara Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal tentang niat dalam wudhu adalah khilafiyah yang sah. Namun, perbedaan pendapat antara seorang imam mazhab dengan seorang awam yang tidak punya dasar ilmu sama sekali bukanlah khilafiyah, melainkan kesesatan atau kebodohan.

Imam Abu Hanifah berkata, “Pendapat kami adalah pendapat yang menurut kami paling baik, tetapi kami tidak memaksa seorang pun untuk mengambilnya. Barangsiapa yang datang dengan pendapat yang lebih baik dari pendapat kami, maka itu lebih benar daripada pendapat kami.”

Bagaimana Ulama Menyikapi Khilafiyah? 

Para pendiri mazhab tidak pernah memaksakan pendapatnya dan sangat menghormati perbedaan.

  1. Saling Menghormati: Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki, sangat menghormati Imam Abu Hanifah. Begitu pula Imam Syafi’i, yang merupakan murid Imam Malik, sangat memuliakan gurunya meski sering berbeda pendapat.
  2. Tidak Fanatik Buta (Ta’asshub): Mereka tidak mengklaim kebenaran mutlak hanya untuk pendapat sendiri. Imam Syafi’i, yang terkenal dengan qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru), sering mengoreksi pendapatnya sendiri setelah menemukan dalil yang lebih kuat.
  3. Berdebat dengan Cara Terbaik (Al-Jidal bi al-Ahsan): Perdebatan ilmiah mereka sarat dengan adab, mengutamakan dalil, dan tidak disertai caci maki atau tuduhan sesat.
  4. Membedakan antara Ijtihadi dan Qath’i: Mereka sepakat bahwa masalah yang sudah ditetapkan dengan dalil qath’i (seperti kewajiban shalat lima waktu, haramnya zina) tidak ada ruang untuk khilafiyah. Khilafiyah hanya terjadi pada area abu-abu (zhanni) yang memang terbuka untuk interpretasi.

Hikmah Dibalik Khilafiyah

Allah SWT menjadikan khilafiyah sebagai rahmat (rohmah) bagi umat ini. Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah dalam I’lam al-Muwaqqi’in mengatakan, “Perbedaan pendapat di kalangan umat adalah rahmat.”

Beberapa hikmahnya adalah:

  1. Kelapangan dan Kemudahan (At-Taysir):Dengan adanya berbagai pendapat, umat dapat memilih pendapat yang paling sesuai dengan kondisi dan kemampuannya. Misalnya, orang yang sakit boleh bertayamum berdasarkan pendapat yang membolehkan, meski dalam kondisi tertentu ada pendapat yang mewajibkan wudhu.
  2. Aktivasi Akal dan Ilmu: Khilafiyah memacu semangat keilmuwan dan penelitian mendalam terhadap dalil-dalil.
  3. Mencerminkan Dinamika Hukum Islam: Hukum Islam tidak kaku, tetapi mampu beradaptasi dengan waktu, tempat, dan kondisi yang berbeda-beda melalui pintu ijtihad dan khilafiyah ini.
  4. Mengajarkan Toleransi dan Ukhuwah: Adanya khilafiyah mengajarkan kita untuk hidup berdampingan secara damai dengan saudara seiman yang mungkin berbeda dalam praktik fikih tertentu.

Kesimpulan

Khilafiyah adalah warisan berharga yang menunjukkan kedalaman dan kelenturan fikih Islam. Ia adalah buah dari ijtihad para ulama besar yang memenuhi syarat, bukan perbedaan sembarangan. Menyikapi khilafiyah memerlukan ilmu, adab, dan sikap lapang dada. 

Dengan memahami esensi khilafiyah, kita dapat beralih dari budaya menyalahkan dan memecah belah, menuju budaya menghormati dan merangkul perbedaan sebagai bentuk rahmat Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.

Referensi:

  1. As-Suyuthi, Jalaluddin. Al-Asybah wan Nazhair.
  2. Asy-Syathibi, Ibrahim. Al-Muwafaqat fi Ushul as-Syari’ah.
  3. Ibn Qayyim al-Jauziyah. I’lam al-Muwaqqi’in ‘an Rabb al-‘Alamin.
  4. Az-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
  5. Al-Qaradawi, Yusuf. Al-Ijtihad fi asy-Syari’ah al-Islamiyah.

banner 336x280

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

No More Posts Available.

No more pages to load.